KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI  DI TAMAN KANAK-KANAK (TK)  MAPPALO ULAWENG KECAMATAN AWANGPONE
KABUPATEN BONE


ANDI ITING



A.      PENDAHULUAN

Berdasarkan kurikulum tahun 2004, maka ruang kurikulum TK meliputi aspek perkembangan: moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian, kemampuan berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni. Bila disederhanakan dan menghindari tumpang tindih, serta untuk memudahkan guru menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan pengalaman mereka, maka aspek-aspek perkembangan tersebut dipadukan dalam bidang pengembangan yang utuh mencakup: bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan dan bidang pengembangan kemampuan dasar.
Pembentukan perilaku melalui pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan ada dalam kehidupan sehari-hari anak sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Bidang pengembangan pembentukan perilaku melaui pembiasaan meliputi pengembangan moral dan nilai-nilai agama, serta pengembangan sosial, emosional, dan kemandirian. Dari program pengembangan moral dan nilai-nilai agama diharapkan akan meningkatkan ketaqwaan anak terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan membina sikap anak dalam   rangka meletakkan dasar agar anak menjadi warga Negara yang baik. Program pengembangan sosial dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan orang dewasa dengan baik serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup.
Tujuan pendidikan yang diharapkan adalah kreatif, disiplin  berilmu dan sehat yang paling mendasar adalah memiliki akhlak mulia, bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa dan bertanggungjawab. Harapan ideal tersebut dapat dicapai bila salah satu faktornya yang harus diperhatikan adalah bila anak selalu bersikap mandiri.
Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan penerimaan amanah dari orang tua untuk mendidik, membimbing dan mengajar anak dididik dengan menyediakan semua komponen guna menunjang suksesnya pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan target yang ingin dicapai. Proses pendidikan di Taman Kanak-Kanak, guru sebagai pendidik yang mempunyai peran strategis dalam membentuk pola perilaku (kebiasaan) anak usia Taman Kanak-Kanak.
Anak didik merupakan amanah orang tua kepada Taman Kanak-Kanak untuk dididik, dibimbing, dan diajar sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Taman Kanak-Kanak sehingga menumbuhkan komitmen bagi Taman Kanak-Kanak untuk memberikan yang terbaik dengan mengembangkan potensi dasar yang dimiliki anak. Perkembangan potensi anak sejak anak usia Taman Kanak-Kanak menjadi baik untuk perkembangan anak selanjutnya.
Salah satu aspek yang harus dikembangkan pada diri anak adalah kemandirian. Hal ini penting karena dan yang sedang tumbuh dan berkembang membutuhkan berbagai macam pola pembiasaan yang baik untuk membentuk pribadi anak sebagai bekal dalam bermasyarakat ketika anak dewasa kelak. Anak sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang pada awal perkembangannya membutuhkan pola pembiasaan dari para orang tua dan pendidik, dalam hal ini guru sebagai pendidik utama di sekolah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nugraha dan Rachmawati, (2005) bahwa perkembangan emosi anak menonjol pada uisa 2,5 tahun hingga 3,5 tahun yang dikenal dengan usia degil (emosi terpusat pada diri) dan usia 5,5 tahun hingga 6,5 tahun. Pada usia tersebut, emosi anak sangat kuat. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan ledakan-ledakan emosi anak, sehingga anak cendrung mau menang sendiri tanpa mau memperhatikan atau mempedulikan orang lain, karena pada masa ini anak merasa mereka mampu melakukan sesuatu tanpa orang lain dan tekanan dari pihak manapun serta pada masa ini pula rasa ingin tahu anak sangat tinggi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi anak kurang menunjukan sikap tersebut, diantaranya lemah dan berlebihan perhatian orang tua terhadap anaknya dikarenakan orang tua selalu sibuk dengan urusan ekonomi, orang tua yang otoriter, keluarga yang broken home, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar anak, adanya perkembangan media elektronik, kurang demokratisnya pendekatan dari orang tua maupun guru yang ada di sekolah.
Peran guru dalam mengembangkan kemandirian anak dapat dilakukan di sekolah seperti memberi motivasi dan dorongan kepada anak usia dini dalam menyelesaikan tugasnya dengan sendiri dan dengan mengajarkan kemandirian yang dimulai dari hal-hal sederhana secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak seperti cuci tangan sendiri sebelum dan sesudah makan (Shalihah, 2010). 
Pengembangan kemandirian anak usia dini tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal saja tetapi yang berperan penting dalam hal ini adalah orangtua. Semenjak dini anak harus mendapatkan perhatian yang cukup dari lingkungan, terutama orang tua karena mereka adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak. Lingkungan rumah yang kondusif akan membuat anak dapat mengeksplorasi bakat dan kemampuan yang individu miliki. Anak juga akan tumbuh optimis, baik dalam pergaulan maupun hidup pada umumnya misalkan anak memperoleh tanggapan yang penuh simpatik dan perhatian penuh dari orang tua, sering bermain bersama anak, orang tua sangat peka terhadap anaknya.
Keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana anak dididik dan dibesarkan. Keluarga adalah tempat yang paling awal dan efektif untuk mengajarkan berbagai kebiasaan yang baik yang perlu dimiliki oleh seorang anak. Seringkali orang tua atau pengasuh tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika anak mulai enggan berangkat ke kelompok bermain, bahkan kadang menjadi mogok. Hal itu seringkali disebabkan si anak tidak mampu mengungkapkan perasaannya secara terus terang mengenai masalah yang dihadapi. Apalagi bagi anak usia dini yang masih berusia 2 - 4 tahun. Tanpa alasan jelas anak usia dini sering mogok. Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi kondisi anak bila mogok tanpa alasan? Ada banyak hal yang harus diperhatikan oleh orangtua terutama untuk anak usia dini dalam mencari penyebab hal itu bisa terjadi, misalnya dengan bekerja sama dengan pendidik untuk membujuk anak agar mau berangkat ke kelompok bermain.
Peran orang tua dalam pengasuhan anak terhadap perkembangan kemandirian anak dapat dilakukan dengan memberikan beberapa latihan kemandirian di rumah dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-hari, seperti melatih anak mengambil air minumnya sendiri, melatih anak untuk membersihkan kamar tidurnya sendiri, melatih anak buang air kecil sendiri, melatih anak menyuap makanannya sendiri, melatih anak untuk naik dan turun tangga sendiri (Musbikin, 2010).
Fenomena yang terlihat di Taman kanak-kanak (TK)  Mappalo Ulaweng Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone bahwa: dalam mengembangkan kemandirian anak masih belum sepenuhnya memandirikan anak karena hal ini terlihat ketika anak di sekolah, masih ada yang menbutuhkan bantuan guru dalam mencuci tangan bahkan masih ada yang butuh untuk disuap. Maka dalam kesempatan ini, peneliti bermaksud mengemukakan mengenai perkembangan kemandirian anak di sekolah karena adanya indikasi bahwa di Taman kanak-kanak (TK)  Mappalo Ulaweng Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone terdapat indikasi anak yang belum mandiri sesuai  dengan perkembangannya.

B.       PEMBAHASAN

1.        Pengertian Kemandirian
            Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku sesuai keinginannya. Perkembangan kemandirian merupakan bagian penting untuk dapat menjadi otonom dalam masa remaja. Menurut Steinberg (dalam Yamin, 2010) kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri. Kemandirian remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai keinginannya, mengambil keputusan sendiri, dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri.  Menurut Dewi (2005) yang diharapkan pada usia 4 sampai 6 tahun yang menjadi fokus hasil belajar adalah menanamkan sejak dini tentang pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan dengan pembiasaan yang baik. Hal ini yang menjadi dasar pembentukan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-niilai yang dijunjung masyarakat. Pada masa ini juga tepat untuk pembentukan pribadi yang matang, mandiri, dan menanamkan budi pekerti yang baik. Selain itu, melatih anak untuk membedakan sikap dan perilaku yang baik agar dapat menghindarkan diri dari perbuatan tercelah. Lainnya Suwarsiyah (1999) menyatakan bahwa kemandirian seorang anak akan terwujud dengan kehadiran orangtua/pendidik terutama seorang ibu terhadap anaknya, terlebih sebelum anak mencapai usia dua tahun. Pada saat ini maternal child bonding (keereatan) dapat terbentuk sehingga dapat menumbuhkan attachment (kelekatan) antara anak dan ibu. Jika bonding sudah terbentuk, secara psikologis akan merasa aman. Dengan adanya rasa aman yang diperoleh melalui bonding dan accachment ibu sebagai figure maka dapat terbentuk kemandirian anak tanpa rasa takut. Secara hakiki, perkembangan kemandirian seseorang merupakan perkembangan hakikat eksistensi manusia, di mana perilaku mandiri itu adalah perilaku yang sesuai dengan hakikat eksistensi diri. Hal ini sejalan yang diungkap oleh Yamin (2010) bahwa kemandirian adalah hasil dari suatu proses perkembangan diri yang normatif, terarah sejalan dengan tujuan hidup manusia. Kemandirian merupakan kekuatan internal individu seseorang yang diperoleh melalui proses mencari jati diri menuju kesempurnaan.
Menurut Dodge (2008), kemandirian anak usia dini dapat dilihat dari pembiasaan perilaku dan kemampuan anak dalam kemampuan fisik, percaya diri, bertanggungjawab, disiplin, pandai bergaul, mau berbagi, mengendalikan emosi. 
Kemandirian berarti kemampuan seseorang untuk melakukan, memikirkan dan merasakan sesuatu, untuk mengatasi masalah, bersaing, mengerjakan tugas, dan mengambil keputusan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, bertanggung jawab, serta tidak bergantung pada bantuan orang lain. Kemandirian merupakan aspek yang berkembang dalam diri setiap orang, yang bentuknya sangat beragam, pada tiap orang yang berbeda, tergantung pada proses perkembangan dan proses belajar yang dialami masing-masing orang. Karena itu kemandirian mengandung pengertian: memiliki suatu penghayatan/semangat untuk menjadi lebih baik dan percaya diri, dan mampu mengelola pikiran untuk menelaah masalah dan mengambil keputusan untuk bertindak, serta disiplin dan tanggung jawab tidak bergantung pada orang lain.
Pengertian ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Havighurst dalam (Yamin dan Sanan: 2010) yang menyatakan bahwa kemandirian memiliki beberapa aspek, yaitu:
a.       Aspek intelektual, yang merujuk pada kemampuan berpikir, menalar, memahami beragam kondisi, situasi, dan gejala-gejala masalah sebagai dasar usaha mengatasi masalah.
b.      Aspek sosial, berkenaan dengan  kemampuan untuk berani secara aktif membina relasi sosial, namun tidak tergantung pada kehadiran orang lain di sekitarnya.
c.       Aspek emosi, menunjukkan kemampuan individu untuk mengelola serta mengendalikan emosi dan reaksinya, dengan tidak tergantung secara emosi pada orang tua.
d.      Aspek ekonomi, menujukkan kemandirian dalam hal mengatur ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan tidak lagi tergantung pada orang tua.
Anak tumbuh dan berkembang sepanjang hidup mereka. Tingkat ketergantungan berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan aspek-aspek kepribadian dalam diri mereka. Kemandirian pun menjadi sangat berbeda pada rentang usia tertentu. Kemandirian sangat tergantung pada proses kematangan dan proses belajar anak.
Menurut John (2008) menyatakan bahwa peran orangtua, pengasuh (lingkungan) yang diharapkan untuk menumbuhkan kemandirian anak sebagai berikut:
a.       Berilah kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk “bergerak”. Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas.
b.      Melindungi dari bahaya di sekitarnya, misalnya menjauhkan benda-benda tajam, benda yang mudah terbakar, meledak, dll. Lingkungan harus aman bagi anak-anak.
c.       Tidak menakut-nakuti dan tidak mudah memarahinya karena anak bisa tidak kreatif, takut melakukan sesuatu dan kurang mandiri yang ujung-ujungnya akan merepotkan orangtua juga. Selain itu anak tidak akan berkembang ketahap-tahap kemandirian berikutnya.
d.      Bimbinglah anak dengan banyak memberikan penjelasan dengan bahasa yang sesuai dengan usianya. Beritahu akibat positif atau negatif dari apa yang dilakukannya:
Menurut Suwarsiyah (1999) untuk dapat membentuk/menanamkan sikap kemandirian pada anak usia dini, guru dan orangtua secara kontinu dapat melakukakan langkah-langkah sebagai berikut:
a.          Biarkan anak sendiri.
            Janganlah terlalu mudah atau terlalu cepat untuk memberikan bantuan kepada anak-anak yang tengah memperoleh kesulitan. Berikan waktu dan kesempatan kepada mereka untuk berjuang dan menyelesaikan kesulitan itu sendiri. Selain itu, jangan lupa untuk senantiasa mendorong anak-anaknya agar tidak mudah menyerah dalam setiap kesulitan. Orang tua/guru harus selalu memberikan motivasi kepada anak yang tengah mengalami kesulitan, yakinkan bahwa mereka pasti bisa menyelesaikannya.

b.         Libatkan pada kegiatan-kegiatan positif.
            Usia dini adalah usia dimana seorang anak dapat dengan mudah dibentuk. Untuk itu, hendaknya orangtua/guru tidak acuh atau takut untuk memperkenalkan dan melibatkan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang positif. Anak-anak akan mudah memperoleh kebiasaan ketika ia masih berada pada usia dini.

c.          Berikan kesempatan.
Dengan adanya pilihan, maka anak-anak akan berusaha dan berpikir untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Biarkan anak-anak menentukan pilihannya sendiri dalam melakukan kegiatan apapun.

d.         Bercita-cita
Berikanlah gambaran kepada anak-anak mengenai berbagai bidang kehidupan, pendidikan, pekerjaan, profesi, dan sejenisnya. Kemudian cobalah untuk mengajak mereka menentukan cita-cita mereka sejak dini. Dengan cita-cita, impian, atau harapan yang telah tertanam di dalam hati dan pikiran mereka, maka mereka akan terus berjuang untuk mendapatkannya yang akan memberikan nilai kemandirian pada anak usia dini.

e.          Berikan pujian
Pujilah anak-anak manakala mereka melakukan aktifitas yang positif, hal ini akan meningkatkan semangat mereka untuk terus melakukan dan berusaha meningkatkan hal positif .

f.          Terus Memotivasi
Teruslah memberikan motivasi kepada anak usia dini manakala mereka melakukan hal-hal yang positif.

g.         Kenalkan kepada Yang Maha Kuasa
Mengenalkan anak-anak kepada Yang Maha Kuasa akan memperkuat keyakinan dan rasa percaya diri anak-anak. Hal ini akan menghindarkan anak-anak dari hal-hal yang negatif dalam kehidupan. Ingatlah, bahwa anak merupakan anugerah dan titipan dari Yang Maha Kuasa.

2. Bentuk-Bentuk Kemandirian Anak Usia Dini

Kemandirian bagi anak usia dini tentunya berbeda dengan kemandirian yg dituntut untuk orang dewasa. Kemandirian bagi anak usia dini ialah kemampuan anak untuk melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri, seperti makan, berpakaian, ke toilet dan mandi (Elias: 1999).
            Dengan kemandirian seseorang akan mampu berkembang lebih baik. Menurut  (Martinis dan Jamilah: 2010), kemandirian anak usia dini dapat dibagi kedalam beberapa bentuk yakni:

a.       Kemandirian Sosial dan Emosi
Merupakan langkah yang besar bagi anak yang sudah siap untuk ke lingkungan luar rumah. Anak akan menghadapi banyak orang dengan banyak karakter, anak akan belajar dan mencontoh karakter apa saja yang akan mereka temuai. Ghaye dan Pascall dalam (Martinis: 20100) mengidentifikasikan tiga kegiatan anak dalam mengembangkan tingkat kemandirian sosial anak:

1)         Pemisahan
Suatu proses yang mendidik anak untuk lepas dari ketergantungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya. Misalnya ketika sekolah anak harus fokus pada pelajaran dan bermain dengan teman tanpa harus tergantung pada orang tua.

2)         Transisi
Suatu proses yang dialami oleh anak ketika anak berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Misalnya perpindahan anak dari rumah tempat ia tinggal dengan rumah nenek atau saudaranya yang lain juga memberikan anak pengalaman transisi.

3)         Bekerjasama
Suatu kegiatan dimana anak berada dalam satu tim. Dalam kehidupan sekolah anak tidak hanya sendiri melainkan terdapat teman-teman lain yang seusianya. Guru pun memiliki cara untuk membuat anak meningkatkan kemandiriannya dengan cara membiarkan anak untuk membentuk kelompok.
Anak yang sudah siap memperoleh pengalaman dihadapkan pada banyak situasi yang merupakan tantangan tidak hanya untuk anak melainkan untuk guru dan orang tua. Anak dituntut untuk melakukan pemisahan, transisi dan bekerjasama untuk meningkatkan kemandirian sosial dan emosi anak. Emosi yang baik akan membuat teman-teman atau orang lain dilingkungan si anak merasa nyaman sehingga anak pun dmikian. Peran orang dewasa dalam membantu anak untuk memperoleh kemandirian secara sosial dan emosi sangatlah penting.
b.      Kemandirian Fisik dan Fungsi Tubuh
Kemandirian secara fisik dan fungsi tubuh adalah kemandirian dalam hal memenuhi kebutuhan. Misalnya anak bisa menyuapi makan sendiri tanpa dibantu oleh orang lain, anak dapat memakai baju sendiri, anak dapat merapikan mainan sendiri. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh baik guru maupun orang tua dalam melatih kemandirian fisik dan fungsi tubuh: (1) mendampingi anak ketika anak sedang melakukan aktifitas, (2) rasa kasih sayang dan kesabaran orang tua, (3) membuat anak percaya kalau mereka akan dibantu. Meningkatkan aktifitas kemandirian fisik dapat terlihat bagaimana anak hidup dan diberikan kepercayaan untuk melakukan apa saja sendiri.
Mandiri secara fisik sedari anak kecil membuat anak tidak kesulitan dalam menjalani hidup diusia anak ke depan. Anak dengan situasi orang tua yang memanjakan berlebihan tidak akan dapat mengatasi kehidupan yang mandiri ketika anak besar nanti.anak akan selalu bergantung dan membuat orang lain tidak merasa nyaman.
Mandiri juga dituntut anak belajar di sekolah, anak dengan kemandirian yang baik tidak akan mengganggu anak lainnya. Anak membutuhkan kemandiran fisik sedini mungkin, dilakukan agar anak dapat menjalani hidupnya dengan lebih baik kedepan nanti.
c.       Kemandirian Intelektual
Kemandirian intelektual pada anak dapat dilihat dari bagaimana anak dapat menyelesaikan tugas sekolahnya sendiri. Ada saja orang tua yang mengerjakan tugas atau tanggangjawab anak dan membiarkan si anak bermain tanpa memikirkan tanggungjawabnya. Meskipun tugas anak hanya bermain pada usia taman kanak-kanak namun tanggungjawab seperti tugas memelihara tanaman harus diurus oleh mereka sendiri asalkan dibawah pengawasan orang tua. Jika dibiarkan secara terus menerus maka hal ini membuat anak menjadi tidak bertanggungjawab dan tidak dapat mandiri secara intelektual.
Kesempatan yang diberikan kepada anaknya untuk mengerjakan tugasnya dapat memicu kemandirian. Peran orang tua dan guru hanyalah sebagai fasilitator bagi anak. Anak diberikan kesempatan untuk mengerjakan semua tanggungjawab jika ingin meningkatkan kemandirian intelektual.
d.      Menggunakan Lingkungan untuk Belajar
Anak yang sudah mandiri dan dapat memanfaatkan lingkungan untuk belajar, dapat membantu anak lain untuk belajar mandiri. Anak harus tahu apa saja yang dapat mereka lakukan dengan keberadaan lingkungan yang dapat memanfaatkannya. Dengan begitu anak dapat mengidentifikasi lingkungan yang mana yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak. Pengalaman yang diperoleh anak dalam lingkungan memberikan anak pelajaran untuk meningkatkan kemandiriannya.
Anak dapat mandiri jika ia diberikan ruang untuk mengeksplor apa yang disenanginya tanpa dibantu atau diturut dicampuri oleh orang tua atau guru. Anak akan menjadi mandiri begitu anak merasa nyaman dengan lingkungannya.
e.       Membuat Keputusan dan Pilihan
Anak yang aktif dan mandiri tidak tergantung pada apa yang dikatakan orang lain, mereka akan membawa ide mereka sendiri dalam menyikapi segala aktifitas.anak yang mandiri dapat membuat keputusan dan pilihan. Membuat keputusan atau pilihan pada awalnya mungkin akan mengalami hambatan namun lama kelamaan berdasarkan pengalaman yang diperoleh akan membuat anak mengambil keputusan dan pilihan secara tepat. Misalnya anak hendak buang air kecil, anak yang mandiri akan mencari toilet dan buang air tanpa bantuan orang lain.
Tina Bruce dalam (Martinis dan Jamilah: 2010), menyarankan agar anak diberi kesempatan untuk memilih dan memutuskan segala hal yang berhubungan dengannya. Anak yang diberikan kesempatan tersebut akan merasa bertanggungjawab terhadap segala tindakannya dan hal ini memberikan kemandirian pada anak. Mulailah dari hal yang kecil seperti membereskan tempat tidur, orang tua harus mendukung segala keputusan anak.
f.       Refleksi dalam Belajar
Menghargai pendapat dan pandangan anak mengenai segala hal juga merupakan salah satu cara membuat anak menjadi mandiri. Regio Emilia dalam (Martinis dan Jamilah: 2010) menempatkan anak pada saat tim untuk mengerjakan sesuatu membuat anak dapat berbagi pandangannya dengan teman yang lain. Setelah anak belajar atau melakukan aktivitas yang melelahkan ada baiknya jika anak diberikan kesempatan untuk merefleksi diri.
Mengajarkan anak untuk refleksi dari apa yang telah ia lakukan merupakan proses evaluasi bagi anak dan belajar dari pengalamannya. Pada faktanya proses tidak sengaja dijadwalkan sebagai program untuk memandirikan anak, pada anak kita hanya membuatnya menjawab apa yang ditanyakan seputar refleksi dengan cara anak seusianya. Seperti bermain atau bercerita lalu dikaitkan dengan hal yang dilakukan oleh anak. Refleksi dari apa yang telah anak lakukan merupakan cara untuk memandirikan anak dengan belajar dari pengalaman.

3.      Pengasuhan  Orangtua dalam Kemandirian Anak
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dikatakan pertama karena sejak anak masih ada dalam kandungan dan lahir berada dalam keluarga. Dikatakan utama karena keluarga merupakan yang sangat penting dalam proses pendidikan untuk membentuk pribadi yang utuh.  Suasana yang ada dalam keluarga memungkinkan berkembangnya kreativtas. Semua sifat dan sikap itu dapat ditanamkan pada anak dalam upaya mengembangkan kemandiriannya. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang berhubungan dengan perasaan dapat dibentuk dalam keluarga seperti penananaman disiplin, beriman, berhati lembut, bertanggungjawab, bertenggang rasa, cermat, gigih, hemat, jujur, kreatif, mandiri, mawas diri, pemaaf, pemurah, pengendalian diri, rajin, ramah tamah, kasih sayang, percaya diri, rendah hati, sabar, setia, adil, rasa hormat, tertib, sopan santun, sportif, susila, tegas, teguh, tekun, tetap rajin, terbuka, dan ulet (Setyawati, 1997).
Pola pengasuhan memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan anak. Pola pengasuhan anak oleh orang tua akan nampak dari bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak. Termasuk caranya menerapkan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukan  sikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Menurut Baumrid (dalam Thalib, 2005:98) pola pengasuhan tidak hanya mencakup upaya orang tua untuk melindungi anak, tetapi mencakup aktivitas yang menggambarkan bagaimana peran orang tua dalam mempengaruhi perkembangan anak termasuk upaya mengontrol dan mensosialisasikan anak. Thalib (2005:99) berpendapat bahwa pola pengasuhan meliputi upaya orang tua untuk membimbing dan mengontrol anak dalam mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan perilaku anak.
Baumrid (dalam Thalib, 2005:105) menggolongkan pola-pola pengasuhan orang tua atas tiga kategori utama yaitu pola pengasuhan otoritatif, pola pengasuhan otoritarian, dan pola pengasuhan permissive. Masing-masing pola pengasuhan memiliki karakteristik dalam berinteraksi dengan anak, menerapkan disiplin dan hukuman kepad anak.
a.         Otoritatif
Pola pengasuhan otoritatif menunjukan ciri-ciri: orang tua mengarahkan, lebih terbuka, memberikan pertimbangan dan penjelasan rasional tentang peraturan yang diterapkan, dan memberikan otonomi kepada anak tetapi juga memberikan batasan-batasan yang jelas, orang tua memberikan kebebasan tetapi juga mengontrolnya, saling memberi dan menerima antar anak dan orang tua, orang tua berkomunikasi yang baik kepada anak, dan konsisten dalam pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan.
Orang tua yang menerapkan pola pengasuhan otoritatif memprioritaskan kepentingan anak dengan  menempatkan anak sebagai subjek, bukan objek. Pendekatan orang tua kepada anak bersifat hangat. Dalam pola pengasuhan otoritatif, orang tua mengembangkan pengasuhan emosi dengan memberi kesempatan kepada anak untuk menunjukan emosinya baik emosi positif maupun emosi negative. Namun orang tua otoritatifng memberikan aerahan yang jelas kepada anak mengenai sikap perilaku yang diterima oleh lingkungan  sosialnya dalam mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Menerka mengarahkan anak untuk berperilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial sehingga anak memiliki pengetahuan dan berperilaku yang akan mendasari anak untuk menjalani kehidupannya dimasa mendatang.
Pengasuhan otoritatif memberikan kesempatan kepada anak untuk berperan serta dalam berbagai aktivitas, menaruh perhatian terhadap perbedaan dan pandangan individual anak, memberikan dorongan kepada anak dalam membuat keputusan dan memecahkan masalahnya sendiri, memberi kebebasan kepada anak tapi sekaligus menekankan tanggung jawab. Orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif selalu memperhatikan perkembangan anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya. Hubungan orang tua dan anak hangat dan terbuka karena memiliki kepercayaan pada kedua orang tuanya sebagai orang yang dapat memberi rasa aman dalam kehidupannya.

b.      Otoritarian 
Orang tua dengan pola pengasuhan otoritarian lebih mengutamakan kepentingan orang tua dibandingkan dengan kebutuhan anak. Mereka menerapkan aturan-aturan yang ketat yang harus dipatuhi anak. Anak dituntut untuk mematuhi target yang ditetapkan tanpa mendiskusikan dengan anak. Anak tidak diberi ruang untuk mengemukakan pendapat. Komunikasi bersifat searah, dari orang tua ke anak. Anak adalah objek yang harus dibentuk oleh orang tua karena orang tua merasa lebih tahu mana yang terbaik untuk anak-anaknya. Dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua cendrung melakukan control secara ketat dengan standar perilaku yang ditentukan anak, disiplin yang kaku dan cendrung menggunakan hukuman fisik terhadap pelanggaran yang dilakukan anak, orang tua tidak mendorong anak, cendrung lebih agresif dalam mengatasi konflik, kurang menunjukan kasih sayang dan kehangatan dalam proses interaksi. Secara umum dalam pola pengasuhan otoritarian, orang tua sangat menanamkan disiplin dan menuntut prestasi tinggi pada anaknya.
Gottman dan Joan De Claire (1999:41) menjelaskan bahwa orang tua yang menerapkan pola pengasuhan otoritarian tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengungkapan emosi-emosi negative dan akan menegur atau memberi hukuman ketika anak mengungkapkan emosinya. Dalam pola pengasuhan otoritarian, ketika anak mengungkapkan emosi negative dianggap sebagai cara untuk memanfaatkan orang tua. Dalam pandangan orang tua otoritarian emosi negative adalah emosi yang tidak produktif sehingga anak dituntut untuk melawan emosi-emosi agar dapat tetap bertahan hidup. Orang tua menganggap emosi terutama emosi-emosi negative hanya perlu diketahui oleh individu itu sendiri dan perasaan akibat emosi negative itu akan sembuh sendiri seiring dengan berjalannya waktu.
Pola pengasuhan otoritarian kebanyakan diterapkan oleh orang tua yang berasal dari pola pengasuhan otoritarian pula dimasa kanak-kanaknya (intergeneration transmismsion), atau oleh orang tua sebenarnya menolak kehadiran anak (Prasetya, 2003:29). Mereka mengendalikan anak lebih karena kepentingan orang tua/pengasuhannya untuk memudahkan pengasuhanan dan kepentingan jangka pendek.

c.       Permisif (Manja)
Pola pengasuhan permisif ini kebalikan dari pola pengasuhan otoritarian. Pengawasan yang dilakukan oleh orang tua  permissif kepada anak sangat longgar. Orang tua memberikan kesempatan kepada anak tanpa pengawasan yang cukup. Mereka cendrung tidak mau menegur atau memperingatkan anaknya, meskipun perilaku anak sudah diluar batas kewajaran atau sudah keterlaluan. Orang tua bisanya bersikap melakukan apa yang diinginkan oleh anak, yang penting anak tidak menangis atau tidak mengecewakan anak.
Orang tua yang menerapkan pola pengasuhan permissif dicirikan oleh tidak memberikan batasan-batasan jelas tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, orang tua kurang memperkenalkan nilai-nilai kebaikan kepada anak. Anak kemudia cendrung berkembang berbuat semaunya. Bahkan nampaknya, anak lebih mendominasi orang tuanya sehingga semua keinginan anak harus dipenuhi. Pola pengasuhan permissif ini dilakukan bukan karena orang tua tidak sayang yang berlebihan dan cendrung memanjakan.
Pola pengasuhan permissive memberikan perhatian terhadap emosi-emosi anak namun pandangan mereka anak seharusnya dilindungi dari emosi-emosi negative seperti rasa sedih atau kecewa. Orang tua menempatkan diri sebagai pendamping anak jika anak mengaalami perasaan tersebut namun mereka tidak memberikan petunjuk bagi anak bagaimana cara mengatasinya. Mereka memberikan perlindungan dan kasih sayang yang berlebihan sehingga anak kurang memiliki daya tahan dalam menghadapi problema kehidupan. Dalam pandangan orang tua dan anak, hidup haruslah selalu memberikan kebahagiaan dan jika anak merasa sedih atau kecewa maka ayah atau ibunya akan selalu siap menghiburnya.
Anak belajar tentang banyak hal, seperti pengendalian diri, pengungkapan emosi, kedisiplinan, ketekunan, dan kemandirian melalui pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tuanya. Ahli-ahli perkembangan melalui serangkaian penelitian menunjukan bahwa pengasuhan berhubungan dengan perkembangan perilaku dan kepribadian anak. Hunt dan Bloom (dalam Thalib, 2005:108) meyakini bahwa pola pengasuhan dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak.
Anak dengan pola asuh otoritarian biasa memiliki tanggung jawab dan kompetensi yang cukup, namun kebanyakan cendrung menarik diri secara sosial, agresif, tidak bahagia, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri (Catron dan Allen, 1999:236). Anak cendrung melakukan tugasnya karena rasa takut pada hukuman. Dan dalam kondisi yang ektrem anak laki-laki dengan pola pengasuhan otoritarian memiliki resiko berperilaku antisocial, agresif, dan impulsive. Anak perempuan cendrung tergantung (dependent) pada orang tua atau pengasuh primernya. Dan anak dalam pola pengasuhan otoritarian, selain mendapat tekanan dalam kondisi yang tidak menyenangkan, rentan terhadap siksaan-siksaan atau deraan fisik.
Anak yang didik dalam pola pengasuhan otoritatif  menunjuukan rasa percaya diri, memiliki kemampuan dalam mengontrol dirinya sendiri, penuh rasa ingin tahu, dan lebih mudah dalam menghadapi situasi yang menimbulkan tekanan bagi diri anak (Catron dan Allen, 1999:237), memiliki tanggung jawab, memiliki konsep diri yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dan memiliki control diri (Jonhson dalam Thalib, 2005:106).
Anak-anak dalam pola pengasuhan permissif cendrung nampak lebih enerjik, spontan dan responsif dibandingkan dengan anak lainnya. Namun secara sosial mereka kurang matang (manja), mementingkan diri sendiri dan kurang percaya diri  (cengeng). Hal yang mengkhawatirkan adalah anak cendrung menjadi liar, tidak mau mengikuti tata tertib, tidak mandiri dan selalu ketergantungan pada orang-orang di sekitarnya.
Ketiga macam pola asuh tersebut semuanya dapat dilaksanakan oleh pendidik sesuai situasi, kondisi, umur, dan perkembangan anak, serta tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu pendidik harus arif dalam memilih salah satu pola asuh yang akan dilakukan (Santoso, 2002).
Orangtua memiliki kewajiban untuk membantu anak belajar berdiri, berjalan, atau bahkan membantu anak agar tidak mengompol lagi. Hal ini penting sebagai awal pembentukan kepribadian anak, di mana cara membentuk kepribadian anak diantaranya dengan melakukan pendekatan, seperti memberikan kasih sayang yang dibutuhkan oleh anak. Penanaman sifat kemandirian harus dimulai sejak anak prasekolah. Tetapi harus dalam kerangka proses perkembangan manusia, artinya orangtua tidak boleh melupakan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, sehingga ia tidak bisa dituntut menjadi orang dewasa sebelum waktunya, serta orangtua harus mempunyai kepekaan terhadap setiap proses perkembangan anak dan menjadi fasilitator bagi perkembangannya (Yamin, 2010).
Anak akan mandiri jika dimulai dari keluarganya dan hal ini menyebabkan tingkat kemandirian seseorang berbeda satu sama lain, hal ini disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi kemandirian tersebut. Asrori (2008) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah keturunan orangtua, pola asuh orangtua, sistem pendidikan di sekolah, sistem kehidupan di masyarakat.


D.      DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Sri, Denny, Mukti. 2008. Perkembangan dan Konsep Dasar Pegembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Anas Suwarsiyah, 1999. Menumbuhkan Kemandirian Anak, Kreativitas dan Konsep Diri yang  Sehat Anak Usia Dini; Sebuah Tinjauan, UII Yogyakarta.
Catron, E. carol dan jan Allen. 1999. Early Childhood Currikulum A Creative-Play Model. New Jersey: Prentice-Hall Inc
Diane Trister Dodge, Laura J. Colker, Cate Heroman. 2008. The Creative Curriculum for Preschool, Washington DC: Teaching Strategies.

Direktorat PADU Dirjen PLSP Depdiknas. 2004. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Modul Sosialisasi PADU. Jakarta: Direktorat PADU Dirjen PLSP Depdiknas.
Hurlock.  Edisi keenam. 1978.  Perkembangan Anak. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Yamin Martinis dan Sanan Sabri Jamilah. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:  Gaung Persada
Musbikin, Imam. 2010. Buku Pintar PAUD. Yogyakarta: Laksana.
Prasetya, Tembong. 2002. Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Soegeng, Santoso. 2004. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Citra Pendidikan.
Setyawati Edy. 1997. Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur. Jakarta: Balai Pustaka
Shalihah, Mar’atun. 2010. Mengelola PAUD, Mendidik Budi Pekerti Anak Usia Dini bagi Program TK, Play Group, dan di Rumah. Jakarta: Kreasi wacana.  

Yamin, Martinis dan Sanan Sabri Jamilah. 2010. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini PAUD. Jakarta: Gaung Persada Press.

Komentar