KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI DI TAMAN KANAK-KANAK
(TK) MAPPALO ULAWENG KECAMATAN AWANGPONE
KABUPATEN BONE
ANDI ITING
A.
PENDAHULUAN
Berdasarkan kurikulum tahun 2004, maka ruang kurikulum TK meliputi
aspek perkembangan: moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian,
kemampuan berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni. Bila disederhanakan dan
menghindari tumpang tindih, serta untuk memudahkan guru menyusun program
pembelajaran yang sesuai dengan pengalaman mereka, maka aspek-aspek
perkembangan tersebut dipadukan dalam bidang pengembangan yang utuh mencakup:
bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan dan bidang pengembangan
kemampuan dasar.
Pembentukan perilaku melalui pembiasaan merupakan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus dan ada dalam kehidupan sehari-hari anak
sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Bidang pengembangan pembentukan perilaku
melaui pembiasaan meliputi pengembangan moral dan nilai-nilai agama, serta
pengembangan sosial, emosional, dan kemandirian. Dari program pengembangan
moral dan nilai-nilai agama diharapkan akan meningkatkan ketaqwaan anak
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan membina sikap anak dalam rangka meletakkan dasar agar anak menjadi
warga Negara yang baik. Program pengembangan sosial dan kemandirian dimaksudkan
untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat
berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan orang dewasa dengan baik serta
dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup.
Tujuan pendidikan yang diharapkan adalah kreatif, disiplin berilmu dan sehat yang paling mendasar adalah
memiliki akhlak mulia, bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa dan bertanggungjawab.
Harapan ideal tersebut dapat dicapai bila salah satu faktornya yang harus
diperhatikan adalah bila anak selalu bersikap mandiri.
Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan penerimaan amanah dari orang tua
untuk mendidik, membimbing dan mengajar anak dididik dengan menyediakan semua
komponen guna menunjang suksesnya pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan
target yang ingin dicapai. Proses pendidikan di Taman Kanak-Kanak, guru sebagai
pendidik yang mempunyai peran strategis dalam membentuk pola perilaku
(kebiasaan) anak usia Taman Kanak-Kanak.
Anak didik merupakan amanah orang tua kepada Taman Kanak-Kanak
untuk dididik, dibimbing, dan diajar sesuai dengan kurikulum yang berlaku di
Taman Kanak-Kanak sehingga menumbuhkan komitmen bagi Taman Kanak-Kanak untuk
memberikan yang terbaik dengan mengembangkan potensi dasar yang dimiliki anak.
Perkembangan potensi anak sejak anak usia Taman Kanak-Kanak menjadi baik untuk
perkembangan anak selanjutnya.
Salah satu aspek yang harus dikembangkan pada diri anak adalah
kemandirian. Hal ini penting karena dan yang sedang tumbuh dan berkembang
membutuhkan berbagai macam pola pembiasaan yang baik untuk membentuk pribadi
anak sebagai bekal dalam bermasyarakat ketika anak dewasa kelak. Anak sebagai
pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang pada awal perkembangannya membutuhkan
pola pembiasaan dari para orang tua dan pendidik, dalam hal ini guru sebagai
pendidik utama di sekolah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nugraha dan
Rachmawati, (2005) bahwa perkembangan emosi anak menonjol pada uisa 2,5 tahun
hingga 3,5 tahun yang dikenal dengan usia degil (emosi terpusat pada diri) dan
usia 5,5 tahun hingga 6,5 tahun. Pada usia tersebut, emosi anak sangat kuat.
Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan ledakan-ledakan emosi anak, sehingga
anak cendrung mau menang sendiri tanpa mau memperhatikan atau mempedulikan
orang lain, karena pada masa ini anak merasa mereka mampu melakukan sesuatu
tanpa orang lain dan tekanan dari pihak manapun serta pada masa ini pula rasa
ingin tahu anak sangat tinggi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi anak kurang menunjukan sikap
tersebut, diantaranya lemah dan berlebihan perhatian orang tua terhadap anaknya
dikarenakan orang tua selalu sibuk dengan urusan ekonomi, orang tua yang
otoriter, keluarga yang broken home, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar
anak, adanya perkembangan media elektronik, kurang demokratisnya pendekatan
dari orang tua maupun guru yang ada di sekolah.
Peran guru dalam mengembangkan kemandirian anak dapat dilakukan di
sekolah seperti memberi motivasi dan dorongan kepada anak usia dini dalam
menyelesaikan tugasnya dengan sendiri dan dengan mengajarkan kemandirian yang
dimulai dari hal-hal sederhana secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak
seperti cuci tangan sendiri sebelum dan sesudah makan (Shalihah, 2010).
Pengembangan
kemandirian anak usia dini tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal saja
tetapi yang berperan penting dalam hal ini adalah orangtua. Semenjak dini anak
harus mendapatkan perhatian yang cukup dari lingkungan, terutama orang tua
karena mereka adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak. Lingkungan rumah
yang kondusif akan membuat anak dapat mengeksplorasi bakat dan kemampuan yang
individu miliki. Anak juga akan tumbuh optimis, baik dalam pergaulan maupun
hidup pada umumnya misalkan anak memperoleh tanggapan yang penuh simpatik dan
perhatian penuh dari orang tua, sering bermain bersama anak, orang tua sangat
peka terhadap anaknya.
Keluarga adalah tempat pertama dan utama
di mana anak dididik dan dibesarkan. Keluarga adalah tempat yang paling awal
dan efektif untuk mengajarkan berbagai kebiasaan yang baik yang perlu dimiliki
oleh seorang anak. Seringkali orang tua atau pengasuh
tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika anak mulai enggan berangkat ke
kelompok bermain, bahkan kadang menjadi mogok. Hal itu seringkali disebabkan si
anak tidak mampu mengungkapkan perasaannya secara terus terang mengenai masalah
yang dihadapi. Apalagi bagi anak usia dini yang masih berusia 2 - 4 tahun.
Tanpa alasan jelas anak usia dini sering mogok. Lalu apa yang harus dilakukan
oleh orang tua untuk menghadapi kondisi anak bila mogok tanpa alasan? Ada banyak
hal yang harus diperhatikan oleh orangtua terutama untuk anak usia dini dalam
mencari penyebab hal itu bisa terjadi, misalnya dengan bekerja sama dengan
pendidik untuk membujuk anak agar mau berangkat ke kelompok bermain.
Peran orang tua dalam pengasuhan anak
terhadap perkembangan kemandirian anak dapat dilakukan dengan memberikan
beberapa latihan kemandirian di rumah dengan cara melibatkan anak dalam
kegiatan praktis sehari-hari, seperti melatih anak mengambil air minumnya
sendiri, melatih anak untuk membersihkan kamar tidurnya sendiri, melatih anak
buang air kecil sendiri, melatih anak menyuap makanannya sendiri, melatih anak
untuk naik dan turun tangga sendiri (Musbikin, 2010).
Fenomena yang terlihat di Taman kanak-kanak (TK) Mappalo Ulaweng Kecamatan Awangpone Kabupaten
Bone bahwa: dalam mengembangkan kemandirian
anak masih belum sepenuhnya memandirikan anak karena hal ini terlihat ketika
anak di sekolah, masih ada yang menbutuhkan bantuan guru dalam mencuci tangan
bahkan masih ada yang butuh untuk disuap. Maka dalam
kesempatan ini, peneliti bermaksud mengemukakan mengenai perkembangan
kemandirian anak di sekolah karena adanya indikasi bahwa di Taman kanak-kanak (TK) Mappalo Ulaweng Kecamatan Awangpone Kabupaten
Bone terdapat indikasi anak yang
belum mandiri sesuai dengan
perkembangannya.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Kemandirian
Kemandirian
merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku sesuai keinginannya.
Perkembangan kemandirian merupakan bagian penting untuk dapat menjadi otonom
dalam masa remaja. Menurut Steinberg (dalam Yamin, 2010) kemandirian merupakan
kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri. Kemandirian
remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai keinginannya, mengambil
keputusan sendiri, dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri. Menurut Dewi (2005) yang diharapkan pada usia
4 sampai 6 tahun yang menjadi fokus hasil belajar adalah menanamkan sejak dini
tentang pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan dengan
pembiasaan yang baik. Hal ini yang menjadi dasar pembentukan pribadi anak yang
sesuai dengan nilai-niilai yang dijunjung masyarakat. Pada masa ini juga tepat
untuk pembentukan pribadi yang matang, mandiri, dan menanamkan budi pekerti
yang baik. Selain itu, melatih anak untuk membedakan sikap dan perilaku yang
baik agar dapat menghindarkan diri dari perbuatan tercelah. Lainnya Suwarsiyah
(1999) menyatakan bahwa kemandirian seorang anak akan terwujud dengan kehadiran
orangtua/pendidik terutama seorang ibu terhadap anaknya, terlebih sebelum anak
mencapai usia dua tahun. Pada saat ini maternal child bonding (keereatan) dapat
terbentuk sehingga dapat menumbuhkan attachment (kelekatan) antara anak dan
ibu. Jika bonding sudah terbentuk, secara psikologis akan merasa aman. Dengan
adanya rasa aman yang diperoleh melalui bonding dan accachment ibu sebagai
figure maka dapat terbentuk kemandirian anak tanpa rasa takut. Secara hakiki,
perkembangan kemandirian seseorang merupakan perkembangan hakikat eksistensi
manusia, di mana perilaku mandiri itu adalah perilaku yang sesuai dengan
hakikat eksistensi diri. Hal ini sejalan yang diungkap oleh Yamin (2010) bahwa
kemandirian adalah hasil dari suatu proses perkembangan diri yang normatif,
terarah sejalan dengan tujuan hidup manusia. Kemandirian merupakan kekuatan
internal individu seseorang yang diperoleh melalui proses mencari jati diri
menuju kesempurnaan.
Menurut Dodge (2008), kemandirian anak
usia dini dapat dilihat dari pembiasaan perilaku dan kemampuan anak dalam
kemampuan fisik, percaya diri, bertanggungjawab, disiplin, pandai bergaul, mau
berbagi, mengendalikan emosi.
Kemandirian berarti kemampuan seseorang
untuk melakukan, memikirkan dan merasakan sesuatu, untuk mengatasi masalah,
bersaing, mengerjakan tugas, dan mengambil keputusan dengan tingkat kepercayaan
diri yang tinggi, bertanggung jawab, serta tidak bergantung pada bantuan orang
lain. Kemandirian merupakan aspek yang berkembang dalam diri setiap orang, yang
bentuknya sangat beragam, pada tiap orang yang berbeda, tergantung pada proses
perkembangan dan proses belajar yang dialami masing-masing orang. Karena itu kemandirian
mengandung pengertian: memiliki suatu penghayatan/semangat untuk menjadi lebih
baik dan percaya diri, dan mampu mengelola pikiran untuk menelaah masalah dan
mengambil keputusan untuk bertindak, serta disiplin dan tanggung jawab tidak
bergantung pada orang lain.
Pengertian ini sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Havighurst dalam (Yamin dan Sanan: 2010) yang menyatakan bahwa
kemandirian memiliki beberapa aspek, yaitu:
a.
Aspek intelektual, yang merujuk pada kemampuan
berpikir, menalar, memahami beragam kondisi, situasi, dan gejala-gejala masalah
sebagai dasar usaha mengatasi masalah.
b.
Aspek sosial, berkenaan dengan kemampuan untuk berani secara aktif membina
relasi sosial, namun tidak tergantung pada kehadiran orang lain di sekitarnya.
c.
Aspek emosi, menunjukkan kemampuan individu
untuk mengelola serta mengendalikan emosi dan reaksinya, dengan tidak
tergantung secara emosi pada orang tua.
d.
Aspek ekonomi, menujukkan kemandirian dalam hal
mengatur ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan tidak lagi tergantung
pada orang tua.
Anak tumbuh dan berkembang sepanjang
hidup mereka. Tingkat ketergantungan berubah dari waktu ke waktu, seiring
dengan perkembangan aspek-aspek kepribadian dalam diri mereka. Kemandirian pun
menjadi sangat berbeda pada rentang usia tertentu. Kemandirian sangat
tergantung pada proses kematangan dan proses belajar anak.
Menurut John (2008) menyatakan bahwa
peran orangtua, pengasuh (lingkungan) yang diharapkan untuk menumbuhkan
kemandirian anak sebagai berikut:
a.
Berilah kesempatan seluas-luasnya pada anak
untuk “bergerak”. Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang
menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas.
b.
Melindungi dari bahaya di sekitarnya, misalnya
menjauhkan benda-benda tajam, benda yang mudah terbakar, meledak, dll.
Lingkungan harus aman bagi anak-anak.
c.
Tidak menakut-nakuti dan tidak mudah
memarahinya karena anak bisa tidak kreatif, takut melakukan sesuatu dan kurang
mandiri yang ujung-ujungnya akan merepotkan orangtua juga. Selain itu anak
tidak akan berkembang ketahap-tahap kemandirian berikutnya.
d.
Bimbinglah anak dengan banyak memberikan
penjelasan dengan bahasa yang sesuai dengan usianya. Beritahu akibat positif
atau negatif dari apa yang dilakukannya:
Menurut Suwarsiyah
(1999) untuk dapat membentuk/menanamkan sikap kemandirian pada anak usia dini,
guru dan orangtua secara kontinu dapat melakukakan langkah-langkah sebagai
berikut:
2. Bentuk-Bentuk
Kemandirian Anak Usia Dini
Kemandirian bagi anak usia dini tentunya
berbeda dengan kemandirian yg dituntut untuk orang dewasa. Kemandirian bagi
anak usia dini ialah kemampuan anak untuk melakukan perawatan terhadap dirinya
sendiri, seperti makan, berpakaian, ke toilet dan mandi (Elias: 1999).
Dengan
kemandirian seseorang akan mampu berkembang lebih baik. Menurut (Martinis dan Jamilah: 2010), kemandirian
anak usia dini dapat dibagi kedalam beberapa bentuk yakni:
a.
Kemandirian Sosial dan Emosi
Merupakan langkah
yang besar bagi anak yang sudah siap untuk ke lingkungan luar rumah. Anak akan
menghadapi banyak orang dengan banyak karakter, anak akan belajar dan mencontoh
karakter apa saja yang akan mereka temuai. Ghaye dan Pascall dalam (Martinis:
20100) mengidentifikasikan tiga kegiatan anak dalam mengembangkan tingkat
kemandirian sosial anak:
1)
Pemisahan
Suatu proses yang
mendidik anak untuk lepas dari ketergantungan anak terhadap orang tua atau
sebaliknya. Misalnya ketika sekolah anak harus fokus pada pelajaran dan bermain
dengan teman tanpa harus tergantung pada orang tua.
2)
Transisi
Suatu proses yang
dialami oleh anak ketika anak berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan
lainnya. Misalnya perpindahan anak dari rumah tempat ia tinggal dengan rumah
nenek atau saudaranya yang lain juga memberikan anak pengalaman transisi.
3)
Bekerjasama
Suatu kegiatan
dimana anak berada dalam satu tim. Dalam kehidupan sekolah anak tidak hanya
sendiri melainkan terdapat teman-teman lain yang seusianya. Guru pun memiliki
cara untuk membuat anak meningkatkan kemandiriannya dengan cara membiarkan anak
untuk membentuk kelompok.
Anak yang sudah siap
memperoleh pengalaman dihadapkan pada banyak situasi yang merupakan tantangan
tidak hanya untuk anak melainkan untuk guru dan orang tua. Anak dituntut untuk
melakukan pemisahan, transisi dan bekerjasama untuk meningkatkan kemandirian
sosial dan emosi anak. Emosi yang baik akan membuat teman-teman atau orang lain
dilingkungan si anak merasa nyaman sehingga anak pun dmikian. Peran orang
dewasa dalam membantu anak untuk memperoleh kemandirian secara sosial dan emosi
sangatlah penting.
b.
Kemandirian Fisik dan Fungsi Tubuh
Kemandirian secara
fisik dan fungsi tubuh adalah kemandirian dalam hal memenuhi kebutuhan.
Misalnya anak bisa menyuapi makan sendiri tanpa dibantu oleh orang lain, anak
dapat memakai baju sendiri, anak dapat merapikan mainan sendiri. Ada beberapa
hal yang dilakukan oleh baik guru maupun orang tua dalam melatih kemandirian
fisik dan fungsi tubuh: (1) mendampingi anak ketika anak sedang melakukan
aktifitas, (2) rasa kasih sayang dan kesabaran orang tua, (3) membuat anak
percaya kalau mereka akan dibantu. Meningkatkan aktifitas kemandirian fisik
dapat terlihat bagaimana anak hidup dan diberikan kepercayaan untuk melakukan
apa saja sendiri.
Mandiri secara fisik
sedari anak kecil membuat anak tidak kesulitan dalam menjalani hidup diusia
anak ke depan. Anak dengan situasi orang tua yang memanjakan berlebihan tidak
akan dapat mengatasi kehidupan yang mandiri ketika anak besar nanti.anak akan
selalu bergantung dan membuat orang lain tidak merasa nyaman.
Mandiri juga
dituntut anak belajar di sekolah, anak dengan kemandirian yang baik tidak akan
mengganggu anak lainnya. Anak membutuhkan kemandiran fisik sedini mungkin,
dilakukan agar anak dapat menjalani hidupnya dengan lebih baik kedepan nanti.
c.
Kemandirian Intelektual
Kemandirian
intelektual pada anak dapat dilihat dari bagaimana anak dapat menyelesaikan
tugas sekolahnya sendiri. Ada saja orang tua yang mengerjakan tugas atau
tanggangjawab anak dan membiarkan si anak bermain tanpa memikirkan
tanggungjawabnya. Meskipun tugas anak hanya bermain pada usia taman kanak-kanak
namun tanggungjawab seperti tugas memelihara tanaman harus diurus oleh mereka
sendiri asalkan dibawah pengawasan orang tua. Jika dibiarkan secara terus
menerus maka hal ini membuat anak menjadi tidak bertanggungjawab dan tidak
dapat mandiri secara intelektual.
Kesempatan yang
diberikan kepada anaknya untuk mengerjakan tugasnya dapat memicu kemandirian. Peran
orang tua dan guru hanyalah sebagai fasilitator bagi anak. Anak diberikan
kesempatan untuk mengerjakan semua tanggungjawab jika ingin meningkatkan
kemandirian intelektual.
d.
Menggunakan Lingkungan untuk Belajar
Anak yang sudah
mandiri dan dapat memanfaatkan lingkungan untuk belajar, dapat membantu anak
lain untuk belajar mandiri. Anak harus tahu apa saja yang dapat mereka lakukan
dengan keberadaan lingkungan yang dapat memanfaatkannya. Dengan begitu anak
dapat mengidentifikasi lingkungan yang mana yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan anak. Pengalaman yang diperoleh anak dalam lingkungan memberikan anak
pelajaran untuk meningkatkan kemandiriannya.
Anak dapat mandiri
jika ia diberikan ruang untuk mengeksplor apa yang disenanginya tanpa dibantu
atau diturut dicampuri oleh orang tua atau guru. Anak akan menjadi mandiri
begitu anak merasa nyaman dengan lingkungannya.
e.
Membuat Keputusan dan Pilihan
Anak yang aktif dan
mandiri tidak tergantung pada apa yang dikatakan orang lain, mereka akan
membawa ide mereka sendiri dalam menyikapi segala aktifitas.anak yang mandiri
dapat membuat keputusan dan pilihan. Membuat keputusan atau pilihan pada
awalnya mungkin akan mengalami hambatan namun lama kelamaan berdasarkan
pengalaman yang diperoleh akan membuat anak mengambil keputusan dan pilihan
secara tepat. Misalnya anak hendak buang air kecil, anak yang mandiri akan
mencari toilet dan buang air tanpa bantuan orang lain.
Tina Bruce dalam
(Martinis dan Jamilah: 2010), menyarankan agar anak diberi kesempatan untuk
memilih dan memutuskan segala hal yang berhubungan dengannya. Anak yang
diberikan kesempatan tersebut akan merasa bertanggungjawab terhadap segala
tindakannya dan hal ini memberikan kemandirian pada anak. Mulailah dari hal
yang kecil seperti membereskan tempat tidur, orang tua harus mendukung segala
keputusan anak.
f.
Refleksi dalam Belajar
Menghargai pendapat
dan pandangan anak mengenai segala hal juga merupakan salah satu cara membuat
anak menjadi mandiri. Regio Emilia dalam (Martinis dan Jamilah: 2010) menempatkan
anak pada saat tim untuk mengerjakan sesuatu membuat anak dapat berbagi
pandangannya dengan teman yang lain. Setelah anak belajar atau melakukan
aktivitas yang melelahkan ada baiknya jika anak diberikan kesempatan untuk
merefleksi diri.
Mengajarkan anak untuk refleksi dari apa
yang telah ia lakukan merupakan proses evaluasi bagi anak dan belajar dari
pengalamannya. Pada faktanya proses tidak sengaja dijadwalkan sebagai program
untuk memandirikan anak, pada anak kita hanya membuatnya menjawab apa yang
ditanyakan seputar refleksi dengan cara anak seusianya. Seperti bermain atau
bercerita lalu dikaitkan dengan hal yang dilakukan oleh anak. Refleksi dari apa
yang telah anak lakukan merupakan cara untuk memandirikan anak dengan belajar
dari pengalaman.
3.
Pengasuhan Orangtua dalam Kemandirian Anak
Lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dikatakan pertama
karena sejak anak masih ada dalam kandungan dan lahir berada dalam keluarga.
Dikatakan utama karena keluarga merupakan yang sangat penting dalam proses
pendidikan untuk membentuk pribadi yang utuh.
Suasana yang ada dalam keluarga memungkinkan berkembangnya kreativtas.
Semua sifat dan sikap itu dapat ditanamkan pada anak dalam upaya mengembangkan
kemandiriannya. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang berhubungan dengan
perasaan dapat dibentuk dalam keluarga seperti penananaman disiplin, beriman,
berhati lembut, bertanggungjawab, bertenggang rasa, cermat, gigih, hemat,
jujur, kreatif, mandiri, mawas diri, pemaaf, pemurah, pengendalian diri, rajin,
ramah tamah, kasih sayang, percaya diri, rendah hati, sabar, setia, adil, rasa
hormat, tertib, sopan santun, sportif, susila, tegas, teguh, tekun, tetap
rajin, terbuka, dan ulet (Setyawati, 1997).
Pola pengasuhan
memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan anak. Pola pengasuhan anak
oleh orang tua akan nampak dari bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat
berinteraksi dengan anak. Termasuk caranya menerapkan aturan, mengajarkan
nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukan sikap dan perilaku yang baik sehingga
dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Menurut Baumrid (dalam Thalib, 2005:98)
pola pengasuhan tidak hanya mencakup upaya orang tua untuk melindungi anak,
tetapi mencakup aktivitas yang menggambarkan bagaimana peran orang tua dalam
mempengaruhi perkembangan anak termasuk upaya mengontrol dan mensosialisasikan
anak. Thalib (2005:99) berpendapat bahwa pola pengasuhan meliputi upaya orang
tua untuk membimbing dan mengontrol anak dalam mengembangkan pengetahuan,
nilai-nilai, sikap dan perilaku anak.
Baumrid (dalam
Thalib, 2005:105) menggolongkan pola-pola pengasuhan orang tua atas tiga
kategori utama yaitu pola pengasuhan otoritatif, pola pengasuhan otoritarian,
dan pola pengasuhan permissive. Masing-masing pola pengasuhan memiliki
karakteristik dalam berinteraksi dengan anak, menerapkan disiplin dan hukuman
kepad anak.
a.
Otoritatif
Pola pengasuhan otoritatif menunjukan
ciri-ciri: orang tua mengarahkan, lebih terbuka, memberikan pertimbangan dan
penjelasan rasional tentang peraturan yang diterapkan, dan memberikan otonomi
kepada anak tetapi juga memberikan batasan-batasan yang jelas, orang tua
memberikan kebebasan tetapi juga mengontrolnya, saling memberi dan menerima
antar anak dan orang tua, orang tua berkomunikasi yang baik kepada anak, dan
konsisten dalam pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan.
Orang tua yang menerapkan pola pengasuhan
otoritatif memprioritaskan kepentingan anak dengan menempatkan anak sebagai subjek, bukan objek.
Pendekatan orang tua kepada anak bersifat hangat. Dalam pola pengasuhan
otoritatif, orang tua mengembangkan pengasuhan emosi dengan memberi kesempatan
kepada anak untuk menunjukan emosinya baik emosi positif maupun emosi negative.
Namun orang tua otoritatifng memberikan aerahan yang jelas kepada anak mengenai
sikap perilaku yang diterima oleh lingkungan
sosialnya dalam mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Menerka
mengarahkan anak untuk berperilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial
sehingga anak memiliki pengetahuan dan berperilaku yang akan mendasari anak
untuk menjalani kehidupannya dimasa mendatang.
Pengasuhan otoritatif memberikan
kesempatan kepada anak untuk berperan serta dalam berbagai aktivitas, menaruh
perhatian terhadap perbedaan dan pandangan individual anak, memberikan dorongan
kepada anak dalam membuat keputusan dan memecahkan masalahnya sendiri, memberi
kebebasan kepada anak tapi sekaligus menekankan tanggung jawab. Orang tua
dengan pola pengasuhan otoritatif selalu memperhatikan perkembangan anak, dan
tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia
mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya.
Hubungan orang tua dan anak hangat dan terbuka karena memiliki kepercayaan pada
kedua orang tuanya sebagai orang yang dapat memberi rasa aman dalam
kehidupannya.
b.
Otoritarian
Orang tua dengan
pola pengasuhan otoritarian lebih mengutamakan kepentingan orang tua
dibandingkan dengan kebutuhan anak. Mereka menerapkan aturan-aturan yang ketat
yang harus dipatuhi anak. Anak dituntut untuk mematuhi target yang ditetapkan
tanpa mendiskusikan dengan anak. Anak tidak diberi ruang untuk mengemukakan pendapat.
Komunikasi bersifat searah, dari orang tua ke anak. Anak adalah objek yang
harus dibentuk oleh orang tua karena orang tua merasa lebih tahu mana yang
terbaik untuk anak-anaknya. Dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua cendrung
melakukan control secara ketat dengan standar perilaku yang ditentukan anak,
disiplin yang kaku dan cendrung menggunakan hukuman fisik terhadap pelanggaran
yang dilakukan anak, orang tua tidak mendorong anak, cendrung lebih agresif
dalam mengatasi konflik, kurang menunjukan kasih sayang dan kehangatan dalam
proses interaksi. Secara umum dalam pola pengasuhan otoritarian, orang tua
sangat menanamkan disiplin dan menuntut prestasi tinggi pada anaknya.
Gottman dan Joan De
Claire (1999:41) menjelaskan bahwa orang tua yang menerapkan pola pengasuhan
otoritarian tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengungkapan emosi-emosi
negative dan akan menegur atau memberi hukuman ketika anak mengungkapkan
emosinya. Dalam pola pengasuhan otoritarian, ketika anak mengungkapkan emosi
negative dianggap sebagai cara untuk memanfaatkan orang tua. Dalam pandangan
orang tua otoritarian emosi negative adalah emosi yang tidak produktif sehingga
anak dituntut untuk melawan emosi-emosi agar dapat tetap bertahan hidup. Orang
tua menganggap emosi terutama emosi-emosi negative hanya perlu diketahui oleh
individu itu sendiri dan perasaan akibat emosi negative itu akan sembuh sendiri
seiring dengan berjalannya waktu.
Pola pengasuhan
otoritarian kebanyakan diterapkan oleh orang tua yang berasal dari pola pengasuhan
otoritarian pula dimasa kanak-kanaknya (intergeneration
transmismsion), atau oleh orang tua sebenarnya menolak kehadiran anak
(Prasetya, 2003:29). Mereka mengendalikan anak lebih karena kepentingan orang
tua/pengasuhannya untuk memudahkan pengasuhanan dan kepentingan jangka pendek.
c.
Permisif (Manja)
Pola pengasuhan permisif ini kebalikan
dari pola pengasuhan otoritarian. Pengawasan yang dilakukan oleh orang tua permissif kepada anak sangat longgar. Orang
tua memberikan kesempatan kepada anak tanpa pengawasan yang cukup. Mereka
cendrung tidak mau menegur atau memperingatkan anaknya, meskipun perilaku anak
sudah diluar batas kewajaran atau sudah keterlaluan. Orang tua bisanya bersikap
melakukan apa yang diinginkan oleh anak, yang penting anak tidak menangis atau
tidak mengecewakan anak.
Orang tua yang menerapkan pola pengasuhan
permissif dicirikan oleh tidak memberikan batasan-batasan jelas tentang hal-hal
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, orang tua kurang memperkenalkan
nilai-nilai kebaikan kepada anak. Anak kemudia cendrung berkembang berbuat
semaunya. Bahkan nampaknya, anak lebih mendominasi orang tuanya sehingga semua
keinginan anak harus dipenuhi. Pola pengasuhan permissif ini dilakukan bukan
karena orang tua tidak sayang yang berlebihan dan cendrung memanjakan.
Pola pengasuhan permissive memberikan
perhatian terhadap emosi-emosi anak namun pandangan mereka anak seharusnya
dilindungi dari emosi-emosi negative seperti rasa sedih atau kecewa. Orang tua
menempatkan diri sebagai pendamping anak jika anak mengaalami perasaan tersebut
namun mereka tidak memberikan petunjuk bagi anak bagaimana cara mengatasinya.
Mereka memberikan perlindungan dan kasih sayang yang berlebihan sehingga anak
kurang memiliki daya tahan dalam menghadapi problema kehidupan. Dalam pandangan
orang tua dan anak, hidup haruslah selalu memberikan kebahagiaan dan jika anak
merasa sedih atau kecewa maka ayah atau ibunya akan selalu siap menghiburnya.
Anak belajar tentang banyak hal, seperti
pengendalian diri, pengungkapan emosi, kedisiplinan, ketekunan, dan kemandirian
melalui pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tuanya. Ahli-ahli
perkembangan melalui serangkaian penelitian menunjukan bahwa pengasuhan
berhubungan dengan perkembangan perilaku dan kepribadian anak. Hunt dan Bloom (dalam
Thalib, 2005:108) meyakini bahwa pola pengasuhan dalam keluarga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak.
Anak dengan pola asuh otoritarian biasa
memiliki tanggung jawab dan kompetensi yang cukup, namun kebanyakan cendrung
menarik diri secara sosial, agresif, tidak bahagia, kurang spontan dan tampak
kurang percaya diri (Catron dan Allen, 1999:236). Anak cendrung melakukan
tugasnya karena rasa takut pada hukuman. Dan dalam kondisi yang ektrem anak
laki-laki dengan pola pengasuhan otoritarian memiliki resiko berperilaku
antisocial, agresif, dan impulsive. Anak perempuan cendrung tergantung
(dependent) pada orang tua atau pengasuh primernya. Dan anak dalam pola
pengasuhan otoritarian, selain mendapat tekanan dalam kondisi yang tidak menyenangkan,
rentan terhadap siksaan-siksaan atau deraan fisik.
Anak yang didik dalam pola pengasuhan
otoritatif menunjuukan rasa percaya
diri, memiliki kemampuan dalam mengontrol dirinya sendiri, penuh rasa ingin
tahu, dan lebih mudah dalam menghadapi situasi yang menimbulkan tekanan bagi
diri anak (Catron dan Allen, 1999:237), memiliki tanggung jawab, memiliki
konsep diri yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dan memiliki
control diri (Jonhson dalam Thalib, 2005:106).
Anak-anak dalam pola pengasuhan permissif
cendrung nampak lebih enerjik, spontan dan responsif dibandingkan dengan anak
lainnya. Namun secara sosial mereka kurang matang (manja), mementingkan diri
sendiri dan kurang percaya diri
(cengeng). Hal yang mengkhawatirkan adalah anak cendrung menjadi liar,
tidak mau mengikuti tata tertib, tidak mandiri dan selalu ketergantungan pada
orang-orang di sekitarnya.
Ketiga macam pola
asuh tersebut semuanya dapat dilaksanakan oleh pendidik sesuai situasi,
kondisi, umur, dan perkembangan anak, serta tujuan yang hendak dicapai. Oleh
karena itu pendidik harus arif dalam memilih salah satu pola asuh yang akan
dilakukan (Santoso, 2002).
Orangtua memiliki
kewajiban untuk membantu anak belajar berdiri, berjalan, atau bahkan membantu anak
agar tidak mengompol lagi. Hal ini penting sebagai awal pembentukan kepribadian
anak, di mana cara membentuk kepribadian anak diantaranya dengan melakukan
pendekatan, seperti memberikan kasih sayang yang dibutuhkan oleh anak.
Penanaman sifat kemandirian harus dimulai sejak anak prasekolah. Tetapi harus
dalam kerangka proses perkembangan manusia, artinya orangtua tidak boleh
melupakan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, sehingga ia tidak bisa
dituntut menjadi orang dewasa sebelum waktunya, serta orangtua harus mempunyai
kepekaan terhadap setiap proses perkembangan anak dan menjadi fasilitator bagi
perkembangannya (Yamin, 2010).
Anak akan mandiri
jika dimulai dari keluarganya dan hal ini menyebabkan tingkat kemandirian
seseorang berbeda satu sama lain, hal ini disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi
kemandirian tersebut. Asrori (2008) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
kemandirian adalah keturunan orangtua, pola asuh orangtua, sistem pendidikan di
sekolah, sistem kehidupan di masyarakat.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Aisyah, Sri, Denny, Mukti. 2008. Perkembangan dan Konsep Dasar Pegembangan
Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Anas Suwarsiyah,
1999. Menumbuhkan Kemandirian Anak,
Kreativitas dan Konsep Diri yang Sehat
Anak Usia Dini; Sebuah Tinjauan, UII Yogyakarta.
Catron, E. carol dan jan Allen. 1999. Early Childhood Currikulum A Creative-Play Model.
New Jersey: Prentice-Hall Inc
Diane Trister Dodge, Laura J. Colker, Cate Heroman. 2008. The Creative Curriculum for Preschool,
Washington DC: Teaching Strategies.
Direktorat PADU Dirjen PLSP Depdiknas. 2004. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini.
Modul Sosialisasi PADU. Jakarta: Direktorat PADU Dirjen PLSP Depdiknas.
Hurlock.
Edisi keenam. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Gelora Aksara
Pratama.
Yamin Martinis dan Sanan Sabri Jamilah. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini.
Jakarta: Gaung Persada
Musbikin, Imam. 2010. Buku Pintar PAUD. Yogyakarta: Laksana.
Prasetya, Tembong. 2002. Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Soegeng, Santoso. 2004. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:
Citra Pendidikan.
Setyawati Edy. 1997. Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur. Jakarta: Balai Pustaka
Shalihah, Mar’atun. 2010. Mengelola PAUD, Mendidik Budi Pekerti Anak Usia Dini bagi Program TK,
Play Group, dan di Rumah. Jakarta: Kreasi wacana.
Yamin, Martinis dan Sanan Sabri Jamilah. 2010. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini PAUD.
Jakarta: Gaung Persada Press.
Komentar
Posting Komentar